Jumat, 8 Maret 2013
Hari terakhir ada di TelkomVision sebelum
saya officially resign on March 13th.
Satu hari yang sibuk, dimulai dengan keluar
rumah sekitar pukul 7 pagi untuk menghadiri akad nikah salah seorang sahabat di
daerah Pasir Mukti, Citeureup. Kembali ke rumah sekitar pukul 1 siang bada
Jumatan, saya hanya menyempatkan diri untuk cuci muka, ganti pakaian dan shalat
Dzuhur lalu meluncur ke kantor. Hari sudah mendung. Ada rasa malas untuk pergi
ke kantor karena lelah amat sangat di perjalanan pulang pergi Cileungsi – Pasir
Mukti. Tapi mengingat ini adalah hari terakhir saya di kantor, maka saya
lanjutkan perjalanan.
Satu tas plastik penuh berisi kue buatan mama
saya bawa serta sebagai tanda perpisahan. Ah, perpisahan. Saya selalu merasa
jengah mendengar kata yang satu itu. Terlebih kali ini.
Memutuskan untuk resign dari TelkomVision
setelah kurang lebih 2 tahun mengabdi sejak 14 Desember 2010, saya merasa
seperti sedang patah hati. Beberapa kali menangis setiap ingat ini adalah
kantor pertama saya bekerja secara professional setelah lulus dari Sastra
Inggris Universitas Psayaan lebih dari 2 tahun silam.
Mulai dari tim yang hanya terdiri dari 3
orang lalu sempat sendiri, kehadiran Itta dan Mbak Ani kemudian bergabung
dengan tim Groovia, Dea, Dani, Yoha di STO Gambir sejak Februari 2012 hingga
genaplah menjadi 6 orang, semua saya lalui.
Tim EPG Scheduler ini bagi saya bukan sekedar
teamwork. Mereka seperti tim hore dalam 1,5 tahun terakhir. Galau, menangis,
marah, sukacita, semua kami lewati setiap harinya. Kalau ada hal yang saya
syukuri selama bekerja di TelkomVision selain pengalaman bekerja, merekalah hal
itu.
Sampai akhirnya 1 bulan lalu Yoha memutuskan
resign secara mendadak untuk bekerja sebagai accounting di salah satu
perusahaan di Bogor, kenyamanan kami mulai terusik. Bagi saya pribadi,
kemunduran Yoha dari tim seperti sulit diungkapkan dengan kata-kata. Yoha
adalah sahabat saya sejak masuk kuliah. Breakfast felt different since she left
us.
Disusul resignation letter dari Dea. Ah,
rasanya kacau hati. Satu sisi kami senang karena mereka berani meninggalkan apa
yang membuat mereka tak nyaman. Tapi di sisi lain, kami yang tersisa dalam tim
merasa kehilangan amat sangat. Sejak Dea pergi, kami tak pernah lagi turun ke
kantin pagi hari untuk sekedar sarapan bubur atau lontong sayur sambil bersenda
gurau, berbincang tentang hal-hal remeh penuh kesukaan.
Sebenarnya sebelum Dea, sayalah yang
memutuskan untuk resign. Hanya saja saya menunda laporan resign karena
sepertinya keadaan sedang kurang memungkinkan.
(ki-ka): Mbak Ani, Dani, Dea, Me, Yoha, Itta, Mbak Mira |
Hari-hari jelang resign kemarin terasa aneh.
Memandangi tim yang tersisa, Dani, Itta dan Mba Ani menjadi hal yang bisa
membuat air mata saya meleleh. Saya terlalu drama queen.
Terlebih sejak kurang lebih 4 bulan terakhir saya
diperbantukan di Media Library team bersama Om Jon, spv berdarah Batak namun
lembut hati. Ah, semakin sedih rasanya meninggalkan mereka.
Selain diperbantukan sebagai Media Library, saya
sebelumnya telah bertindak sebagai ‘admin bayangan’ untuk tim Broadcast di
Gambir. Memenuhi kebutuhan operasional tim setiap bulannya, melaporkan
penggunaan petty cash, mondar-mandir Head Office di Tebet sampai belanja ke
pasar ditemani Mas Puthut, Asman yang selalu berbaik hati mengantar.
Di hari terakhir bersama mereka, Om Jon
tiba-tiba memberi saya bingkisan berisi jersey t-shirt warna pink tim
kesayangannya, Juventus. Disusul Mbak Mira, salah satu Traffic Staff yang memberikan
sajadah barunya. Ah, terharu rasanya.
Pamitan dengan mereka sebelum mereka pulang jadi
momen penuh air mata. Saya ini mudah terharu sekali!
Ternyata begitu banyak yang menyayangi saya
di sana. Semoga satu hari nanti kami bisa bertemu lagi. Because it’s not a ‘Good
Bye.’ It’s a ‘Good Luck for Us!’J